THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Senin, 17 Januari 2011

Status Warga Negara Anak Anak Yang Lahir Dari Hasil Perkawinan Campuran


Status Warga Negara Anak Anak Yang Lahir Dari Hasil Perkawinan Campuran


Perkawinan merupakan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan karena perkawinan tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya bahkan keluarga mereka masing-masing.

Dalam Pasal 57 UUPerkw yang menegaskan bahwa, ”Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berwarganegara Indonesia”.

Persoalan yang rentan dan sering timbul dalam perkawinan campuran adalah masalah kewarganegaraan anak. Undang-Undang Kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki satu kewarganegaraan, yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya.

Pengaturan ini menimbulkan persoalan apabila dikemudian hari perkawinan orang tua pecah, tentu ibu akan kesulitan mendapat pengasuhan anaknya yang warganegara asing, tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan, status anak dalam perkawinan campuran memperoleh hak kewarganegaraaan ganda yaitu mengikuti kewarganegaraan orang tuanya, namun dalam pelaksanaanya masih ada kendala-kendala yang dihadapi si anak, permasalahan dalam penilitian ini adalah bagaimana tinjauan hukum terhadap anak-anak yang memperoleh warga negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran, hak dan kewajiban hukum yang didapat anak setelah keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2006, manfaat dan kendala anak dalam memperoleh status kewarganegaraan serta prosedur tatacara pendaftaran kewarganegaraan di Departemen Kehakiman dan Hak asasi Manusia.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan sifatnya deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang, yang berkaitan dengan tinjauan hukum tehadap anak-anak yang memperoleh status Warga Negara Indonesia dari hasil perkawinan campuran di Indonesia dan menganalisisnya dengan mengacu konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas hukum serta peraturan-peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah anak dalam memperoleh status WNI dari hasil perkawinan campuran, khususnya serta menjelaskan secara analisis tentang perlindungan hukum terhadap anak dalam perkawinan campuran, hak dan kewajiban anak yang didapat anak dalam perkawinan campuran, dan prosedur pendaftaran kewarganegaraan terhadap anak, sehingga dapat diketahui status kewarganegaraan Anak dari hasil perkawinan campuran setelah keluarnya Undang-undang No. 12 Tahun 2006.

Berdasarkan hasil penelitan dapat disimpulkan bahwa setiap anak yang dilahirkan di Indonesia dianggap berkewarganegaraan Republik Indonesia, sehingga anak nantinya berkewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan) terbatas.
Hal ini dilakukan untuk menjamin perlindungan hukum status anak, anak dari perkawinan campuran dapat memilih kewarganegraan Republik Indonesia setelah berusia 18 tahun atau sudah kawin, dari inilah anak berkewajiban untuk memilih kewarganegaraan pada saat berumur 18 Tahun atau sudah kawin, sehingga tidak lagi berkewarganegaraan ganda dan juga anak dari perkawinan campuran dengan diperolehnya SK WNI tidak perlu lagi mengurus Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) maupun Kartu Izin Tinggal Menetap (KITAP).

Hendaknya pada Pasal 6 UUKW yang baru, dimana anak diizinkan memilih kewarganegaraan setelah berusia 18 tahun atau sudah menikah, itu diberi kemudahan untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia sebelum melewati usia 18 Tahun, karena bila anak tersebut memerlukan untuk melakukan pemilihan kewarganegaraan, sebelum menikah dan hendaknya juga pemerintah memberikan sangsi yang tegas bila keterlambatan dalam pendaftaran WNI anak yang telah melewati batas jangka waktu 3 tahun dari usia 18 tahun, berupa denda dan WNI yang terlambat mendaftar melewati 5 tahun dari batas usia anak dianggap berkewarganegaraan WNA.

PENDIDIKAN KENOTARIATAN DI INDONESIA (SEKARANG INI)

PENDIDIKAN KENOTARIATAN DI INDONESIA (SEKARANG INI)
Ditulis Oleh Dr. Habib Adjie, SH., M.Hum
Monday, 22 December 2008

A. PENDAHULUAN.

Keberadaan lembaga Notaris di Indonesia senantiasa dikaitkan dengan keberadaan fakultas hukum, hal ini terbukti dari institusi yang menghasilkan Notaris (sekarang ini) semuanya dari fakultas hukum dengan kekhususan (sebelumnya) Program Pendidikan Spesialis Notaris atau sekarang ini berubah menjadi Program Studi Magister Kenotariatan.

 Pada awalnya untuk mengisi jabatan Notaris kepada yang bersangkutan wajib mengikuti Ujian Notaris yang diadakan oleh Pemerintah Republik Indonesia baru dimulai pada tahun 1950. Ujian ini dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 13 Peraturan Jabatan Notaris (PJN).

Selanjutnya pada tahun 1954, diadakan kursus-kursus independen di Universitas Indonesia, dilanjutkan dengan kursus Notariat dengan menempel di Fakultas Hukum. Sampai tahun 1970 diadakan Program Studi Spesialis Notariat, sebuah program yang mengajarkan keterampilan (membuat perjanjian, akta, dan lain-lain), yang lulusannya dipersiapkan untuk mengemban jabatan sebagai Notaris. Program seperti ini terus berjalan dan menjadi bagian atau diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, dan kepada lulusannya memberikan gelar Candidat Notaris (CN) atau Spesialis Notariat (SpN.).

Setelah berjalan sekian lama, pada tahun 2000, dikeluarkan Peraturan Pemerintah nomor 60 yang memperbolehkan pengelola Program Studi Spesialis Notariat berubah menjadi Program Magister Kenotariatan, dan kepada lululusan memakai gelar Magister Kenotariatan (MKn).

Program Studi Magister Kenotariatan merupakan program magister yang bersifat keilmuan atau akademis, tapi dalam prakteknya program ini disamping bersifat akademis, juga dipersiapkan untuk memasuki profesi hukum tertentu, juga dipersiapkan untuk memangku jabatan sebagai Notaris, dan juga memberi peluang kepada lulusannya untuk melanjutkan ke jenjang Strata 3 (S3) bidang hukum.

Dalam konteks demikian pendikan MKn. Yang diselenggarakan di Indonesia merupakan hybrid atau campuran antara pendidikan profesi dan akademis. Artinya lulusan M.Kn :

a. Dapat mengajukan permohonan untuk dapat diangkat sebagai Notaris.

b. Sebagai penunjang atau tambahan pengetahuan dalam menjalankan profesi hukum lainnya.

c. Dapat melanjutkan untuk program Strata S3 bidang Ilmu Hukum.

B. MATA KULIAH (AJARAN) PADA PROGRAM M.Kn.

Ketika program kenotariatan masih bernama Program Pendidikan Spesialis Notaris kepada para peserta didik diarahkan agar lulusannya untuk memegang amanat atau menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris, sehingga kuliah yang diberikan sebagai besar untuk menunjang pelaksanaan tugas jabatan Notaris dengan kata lain pengetahuan (hukum) dan keterampilan bidang kenotariatan lebih ditonjolkan, hal ini berbeda ketika program kenotariatan, antara mata kuliah yang bersifat akademis dan pengetahuan/keterampilan kenotariatan harus sebanding. Dalam hal ini agar disebut program Magister, maka mata kuliah ke”Magister”an wajib ada pada Program Magister Kenotariatan, dan juga agar lulusannya mempunyai pengetahuan/keterampilan kenotariatan, maka mata kuliah ke”Notariat”an harus juga ada.

Program Studi Magister Kenotariatan sebagai program pendidikan yang bersifat hybrid, harus memadukan pengetahuan Ilmu Hukum dan Kenotariatan. Untuk kemagisteran dicirikan dengan adanya mata kuliah :

  1. Teori Ilmu Hukum.
  2. Politik Hukum.
  3. Metode Penelitian Hukum/ Metode Penelitian dan Penalaran Hukum.
  4. Penemuan Hukum.
  5. Proposal Tesis.
  6. Tesis.

Sedangkan untuk kenotariatan dicirikan dengan adanya :

  1. TPA (I – III/IV).
  2. Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN/PJN).
  3. Etika Jabatan Notaris.
  4. Peraturan Lelang/Bea Meterai.
  5. Akta Pertanahan/PPAT.

selebihnya merupakan mata kuliah yang sebelumnya telah diperoleh pada waktu kuliah S1 (Sarjana Hukum), hanya dalam hal ini bobot SKSnyas dikurangi, jika dibandingkan dengan Program Spesialis Notaris.

Sebagai salah satu ciri yang khas dari pendidikan kenotaritatan titik tumpunya ada pada TPA. Ketika masih berbentuk Program Spesialis Notaris, TPA ini memperoleh porsi yang sangat besar, yaitu sekitar 14 SKS, ketika menjadi Program Studi Magister Kenotariatan berkurang, dan hanya ada 6 SKS saja, kemudian kewajiban magang menjadi tidak ada, dan PJN/UUJN pun hanya memperoleh porsi 2 SKS saja, yang sebelumnya memperoleh 4 SKS. Jumlah SKS tersebut berkurang karena dibagikan untuk mata kuliah kemagisteran dan Tesis.

Disamping penguasaan kemampuan ilmu hukum dan kenotariatan, maka seharusnya kemampuan untuk menguasai dan membuat akta memperoleh porsi yang sangat besar, karena program tersebut dengan nama Program Studi Magister Kenotariatan, mata kuliah kenotariatan harus cukup besar, seperti TPA.

Dengan system mendidikan yang hybrid atau mendua sebagaimana tersebut di atas, dikhawatirkan kalau bobot mata kuliahnya tidak lebih besar dari bobot kemagisterannya, mereka yang kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan untuk mata kuliah kenotariatan hanya menjadi knowledge base saja atau hanya dasar sekedar tahu ilmu pengetahuan kenotariatan., Oleh karena alangkah sangat bijak jika dilakukan Redesign mengenai mata kuliah kenotariatan, dengan memberi SKS yang lebih besar, setidaknya 60 – 65 % dari keseluruhan SKS yang ada.

C. PENGAJAR/DOSEN PADA PROGRAM M.Kn.

Bahwa Stakeholders lembaga Notariat bukan ada pada salah satu pihak saja, Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, penyelenggara pendidikan kenotariatan, organisasi jabatan Notaris dan mereka yang menjadi Notaris serta masyarakat merupakan para Stakeholder lembaga Notariat, yang wajib dan berkepentingan untuk memajukan dan membangun lembaga notariat di Indonesia, sehingga kalau mau dilakukan pembenahan tidak dapat dilakukan oleh salah satu pihak saja, tapi para harus merupakan sinergi dari para Stakeholders tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yang merupakan bagian dari para Stakeholders tersebut, yaitu pembenahan dari segi pengajar atau dosen dari Notaris pada Program Strata 2 (S2) Kenotariatan untuk disesuaikan dengan Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan Strata 2 kenotariatan dan organisasi jabatan Notaris.

Kehadiran Undang-undang tentang Guru dan Dosen telah memaksa satuan pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan Strata 2 Magister Kenotariatan untuk menyesuaikan kualifikasi dosennya sesuai dengan ketentuan Pasal 46 ayat (2) huruf a Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, yang menegaskan bahwa untuk program pascasarjana dosen tersebut harus memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program magister. Dan juga sekarang ini dosen pada tiap perguruan tinggi harus lulus sertifikasi pendidik atau dosen (Pasal 45 dan 47 Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen). Dalam kaitan ini menimbulkan pertanyaan, apakah para Notaris yang menjadi dosen pada program pendidikan strata 2 kenotariatan perlu mempunyai tanda bukti sertifikat pendidik ? Dan siapakah yang harus melakukan sertifikasi dosen yang berasal dari Notaris tersebut ?

Dalam konsiderans menimbang Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia diperlukan pemberdayaan dan peningkatan mutu guru dan dosen secara terencana, terarah dan berkesinambungan, maka dalam hal ini dibentuk undang-undang tentang Guru dan Dosen.

Dalam tulisan ini ada 7 (tujuh) istilah yang perlu dijelaskan, yaitu Dosen, Penyelenggara Pendidikan, Satuan Pendidikan, Kualifikasi Akdemik, Komptensi, Sertifikasi, Sertifikat Pendidik.

Undang-undang nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupkan aturan hukum yang mengatur mengenai Guru dan Dosen, menegaskan batasan istilah-istilah tersebut, yaitu :

1. Pasal 1 angka 2, Dosen adalah : pendidik professional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

2. Pasal 1 angka 5, Penyelenggara Pendidikan adalah : pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal.

3. Pasal 1 angka 6, Satuan Pendidikan adalah : kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur pendidikan formal dalam setiap jenjang dan jenis pendidikan.

4. Pasal 1 angka 9, Kualifikasi Akademik adalah : ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan

5. Pasal 1 angka 10, Kompetensi adalah : seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya.

6. Pasal 1 angka 11, Sertifikasi adalah : proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru dan dosen.

7. Pasal 1 angka 12, Sertifikat Pendidik adalah : bukti formal sebagai pengakuan yang diberikankepada guru dan dosen sebagai tenaga professional.

Berdasarkan ketentuan Pasal 45 Undang-undang Guru dan Dosen, bahwa setiap dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan pendidikan nasional. Notaris yang menjadi dosen pada program pendidikan magister kenotariatan mau tidak mau harus mengikuti ketentuan yang tersebut dalam Pasal 45 di atas, antara lain : memiliki kualifikasi akademik, memiliki kompetensi, memiliki sertifikat pendidik, dan kualifikasi lainnya yang ditentukan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.

Dengan demikian dosen dari Notaris harus memiliki :

1. kualifikasi akademik, yaitu berupa ijazah jenjang pendidikan akademik yang harus dimiliki oleh guru atau dosen sesuai dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan, karena dalam hal ini program magister kenotariatan dalam kualifikasi Strata 2 (S2), maka dosen tersebut minimal harus berijazah Strata 2 (S2), ketentuan sesuai dengan Pasal 46 Undang-undang Guru dan Dosen.

Bahwa program pendidikan magister kenotariatan merupakan pendidikan strata 2 harus mempunyai dosen dengan kualifikasi magister pula, suatu hal yang aneh dan lucu, jika program pendidikan yang akan menghasilkan lulusan dengan kualifikasi magister, tapi dosennya masih dengan kualifikasi S1 (sarjana) atau Spesialis Notaris.

2. memiliki kompetensi yang merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya. Bahwa mau tidak mau penyelenggara program magister kenotariatan untuk mata kuliah kenotariatan wajib diajar/diberikan oleh dosen yang berasal dari Notaris, oleh karena itu suatu hal yang tidak pada tempatnya jika mata kuliah dalam bidang kenotariatan diberikan oleh dosen yang tidak menjalani tugas jabatan sebagai Notaris.

3. memiliki sertifikat pendidik, bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Selama ini dosen dari Notaris diminta mengajar karena menjalani tugas jabatan sebagai Notaris dan mempunyai kemampuan untuk mentransfer ilmu kenotariatannya kepada para mahasiswa, dan tidak pernah ada penilaian kepada dosen tersebut, terutama dari organisasi jabatan Notaris. Dengan adanya ketentuan seperti tersebut di atas, maka dosen yang berasal dari Notaris wajib mempunyai sertifikat pendidik sebagai bukti atas kemampuan dosen yang bersangkutan sebagai tenaga professional.

Dalam Pasal 47 ayat (3) Undang-undang Guru dan Dosen mengatur mengenai institusi yang dapat mengeluarkan sertifikat pendidik, disebutkan bahwa,…. mengenai sertifikat pendidik untuk dosen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penetapan perguruan tinggi yang terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Isi pasal tersebut menyiratkan setidaknya lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tertentu yang terakreditasi, seperti penyelenggara program pendidikan magister kenotariatan dapat melakukan sertifikasi terhadap dosen pada magister kenotariatan yang berasal dari Notaris. Jika dilakukan seperti ini, maka organisasai jabatan Notaris yang anggotanya para Notaris tidak akan punya peran apa dalam sertifikasi dosen dari Notaris.

Meskipun demikian alangkah baiknya jika sertifikasi tersebut untuk dosen dari Notaris tidak hanya dilakukan oleh penyelenggara pendidikan magister kenotariatan saja, tapi dalam hal ini penyelenggara pendidikan magister kenotariatan dapat bekerjasama dengan organisasai jabatan Notaris (Ikatan Notaris Indonesia) untuk melakukan sertifikasi tersebut, dengan tugas yang berbeda, misalnya penyelenggara pendidikan magister kenotariatan melakukan penilaian terhadap kemampuan Notaris tersebut mentransfer kemampuan keilmuan Notariatnya kepada para mahasiswa, dan organisasi jabatan Notaris melakukan penilaian terhadap moral, etika dan kemampuan penguasaan ilmu kenotariatan, sehingga dalam hal ini terjadi sinergi dalam melakukan sertifikasi tersebut.

Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa Notaris yang menjadi dosen pada program Magister Kenotariatan :

1. wajib memiliki sertifikasi pendidik.

2. memiliki kualifikasi akademik minimal magister.

Bahwa baik perguruan tinggi penyelenggara pendidikan magister kenotariatan dan organisasi jabatan Notaris sebagai salah satu Stakeholders mempunyai kepentingan dengan dunia Notaris untuk melakukan sinergi sertifikasi dosen dari Notaris dalam batas kewenangan masing-masing. Semoga hal ini merupakan salah satu bentuk pembenahan yang dapat dilakukan oleh kita semua.-

D. METODE PENGAJARAN

Pendidikan profesi pada saat ini sangat banyak menggunakan system komunikasi dua arah dan penerapan Problem Based Learning (PBL). Harus diakui bahwa pengajaran di kebanyakan program M.Kn. masih satu arah dan didasarkan catatan dari para pengajarnya.

Untuk meningkatkan kualitas lulusan M.Kn. harus sudah dilakukan perubahan cara mengajar. Metode/cara mengajar seorang dosen agar materi kuliah dapat sampai dan dapat dicerna secara kritis, perlu dikemas sedemikian rupa melalui metode PBL dan didukung dengan pendekatan gabungan antara TCL (Teacher Center Learning) dan SCL (Student Center Learning)..

Oleh karena itu sesuai dengan tuntutan dunia pendidikan, maka untuk para Notaris yang selama ini telah mengajar, mau tidak mau harus meningkatkan kemampuan mengajarnya dengan suatu metode sebagaimana tersebut di atas, untuk yang dapat menyampaikan ilmu kenotariatan kepada para mahasiswa secara baik.

E. MAGANG CALON NOTARIS..

Pasal 3 huruf f UUJN menegaskan bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat sebagai Notaris, bahwa calon Notaris tersebut telah menjalani Magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan dalam Penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan "prakarsa sendiri" adalah bahwa calon notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Jabatan Notaris.

Syarat Magang untuk calon Notaris bersifat imperatif, artinya harus ditempuh dan harus ada tanda buktinya. Magang ini sangat penting untuk calon Notaris, untuk menyelaraskan atara ilmu kenotariatan yang diperoleh dalam bangku kuliah dengan praktek Notaris, dan hal-hal lainnya yang tidak diperoleh dalam bangku kuliah, tapi hanya ada dalam Praktek Notaris, misalnya menatausahakan minuta akta ke dalam Repertorium ataupun mengisi buku daftar untuk surat yang dibukukan atau surat yang disahkan, dan yang lebih penting belajar memahami keinginan para penghadap dan memformulasikannya ke dalam bentuk akta Notaris.

Magang sebagaimana tersebut di atas sudah terlepas dari lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan Magister Kenotariatan, artinya keluaran (out put) dari lembaga pendidikan tersebut sepenuhnya menjadi urusan para Notaris yang akan dijadikan tempat Magang, dalam kaitan ini seharusnya ada kurikulum Magang yang dibuat oleh organisasi Jabatan Notaris, sehingga kurikulum Magang tersebut dapat dijadikan pedoman serta penilaian selama masa Magang. Tanpa adanya pedoman atau kurikulum Magang tersebut, dikhawatirkan Magang tersebut hanya untuk memenuhi kewajiban saja, sedangkan secara substansi ada kemungkinan calon Notaris tersebut belum mengetahui seluk-beluk mengenai praktek Notaris, karena pengetahuan yang diperoleh selama Magang akan menjadi dasar pertama kali untuk praktek sebagai Notaris.

Dengan adanya pedoman Magang tersebut, maka Calon Notaris yang Magang di/pada Notaris, dapat diukur kemampuannya secara terbuka, sehingga dapat diketahui kekurangannya untuk kemudian dibina atau dilatih lebih lanjut oleh Notaris yang bersangkutan.

Ketentuan Magang sebagaimana tersebut wajib dilakukan sebagai syarat untuk dapat diangkat sebagai Notaris, perlu disyaratkan juga Magang sebagai salah satu syarat kelulusan dari lembaga pendidikan kenotariatan, artinya sebelum mahasiswa melakukan ujian tugas akhir (tesis) wajib mebuktikan tanda telah Magang. Dengan demikian ada Magang sebelum dan setelah lulus. Magang seperti ini agar lulusan pendidikan kenotariatan sudah mempunyai pengetahuan Magang sebelumnya untuk dilanjutkan Magang setelah lulus.

F. PENUTUP.

Berdasarkan hasil pengamatan bahwa mereka yang masuk pada Program Magister Kenotariatan (dari awal) berkeinginan untuk menjadi Notaris. Oleh karena itu – berdasarkan mata kuliah yang disajikan – alangkah lebih baiknya mata kuliah pengetahuan dan keterampilan kenotariatan porsinya diperbesar, setidaknya 60 – 65 % dari keseluruhan mata kuliah/SKS yang ada, untuk menunjang mereka yang akan memangku jabatan sebagai Notaris.

Dalam kaitan ini perlu diusulkan oleh Ikatan Notaris Indonesia, kepada pengelola Program Magister Kenotariatan agar mewajibkan adanya Magang nonSKS sebelum lulus, artinya sebelum mahasiswa ujian tesis, maka sebelum ujian tersebut wajib Magang di kantor Notaris dalam jangka waktu tertentu, misalnya 3 – 6 bulan, sebagai upaya menyelaraskan lebih awal antara ilmu kenotariatan yang diperoleh dari perkuliahan dengan praktek Notaris sehari-hari.

Bahwa dengan makin banyaknya perguruan tinggi yang membuka Program Studi Magister Kenotariatan, hal ini merupakan peluang untuk Ikatan Notaris Indonesia untuk turut serta menyediakan mata kuliah dan tenaga pengajar yang disertifikasi oleh Ikatan Notaris Indonesia, dengan demikian setidaknya ada kesamaan mengenai materi yang diajarkan dengan dosen/pengajar yang terakreditasi.

Bahwa yang paling tahu, Notaris seperti apa yang dibutuhkan sekarang ini, adalah organisasi jabatan Notaris, yaitu Ikatan Notaris Indonesia (INI), sehingga seharusnya tercipta sinergi antara INI dengan pengelola Program Studi Magister Kenotariatan, untuk membantu dan mempersiapkan Notaris yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman.


Daftar Pustaka.

Atmoredjo, Sudjito bin Kebangkitan Pendidikan Kenotariatan (Sebagai Upaya Mengangkat Martabat dan Kedaulatan Bangsa), Seminar – Lokakarya, Kebangkitan Pendidikan dan Profesi Notaris Dalam Upaya Mengangkat Martabat Dan Kedaulatan Bangsa, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada – Ikatan Notaris Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta, (DIY), Yogyakarta, 16 – 17 Mei 2008.

Juwana, Hikmahanto, Konsep Pendidikan Profesi Dalam Upaya Mengangkat Martabat dan Kedaulatan Bangsa, Seminar – Lokakarya, Kebangkitan Pendidikan dan Profesi Notaris Dalam Upaya Mengangkat Martabat Dan Kedaulatan Bangsa, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada – Ikatan Notaris Indonesia, Daerah Instimewa Yogyakarta, (DIY), Yaogyakarta, 16 – 17 Mei 2008,

Notodisoerjo, Soegondo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali, Jakarta, 1982